PERJANJIAN GIYANTI
Perjanjian
Giyanti adalah kesepakatan
antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana III), dan pihak
pemberontak dari kelompok Pangeran Mangkubumi yang menjadi solusi bagi salah
satu kerusuhan yang terus terjadi di Mataram sepeninggal Sultan Agung.
Perjanjian yang ditandatangani pada bulan 17 Maret 1755 ini secara de facto
dan de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya
independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian
ini, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di
Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.

Lokasi penandatanganan
Perjanjian Giyanti
Berdasarkan perjanjian
ini, wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi
daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan
Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di
sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi
sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di
Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan
siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.
Daftar
isi
|

Peta pembagian Mataram
setelah Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunagaran pada tahun 1757
Menurut dokumen
register harian N. Hartingh (Gubernur VOC untuk Jawa Utara), pada
tanggal 10 September 1754 N. Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran
Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru pada 22
September 1754. Pada hari berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan
hanya dihadiri oleh sedikit orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran
Notokusumo dan Tumenggung Ronggo. Hartingh didampingi Breton,
Kapten Donkel, dan sekretaris Fockens. Sedangkan yang menjadi
juru bahasa adalah Pendeta Bastani.
Pembicaraan pertama
mengenai pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak
mungkin ada dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di Cirebon ada lebih dari
satu Sultan. Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur. Usul ini ditolak sang
Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan
diantara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji
maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur VOC mengusulkan agar
Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan daerah mana saja yang
akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena
sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. (Pangeran Mangkubumi diangkat
sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan Mataram ketika Paku Buwono II
wafat di daerah Kabanaran, bersamaan VOC melantik Adipati Anom menjadi
Paku Buwono III).
Perundingan terpaksa
dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada 23 September 1754 akhirnya
tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai
gelar Sultan dan mendapatkan setengah Kerajaan. Daerah Pantai Utara
Jawa (orang Jawa sering menyebutnya dengan daerah pesisiran) yang
telah diserahkan pada VOC (orang Jawa sering menyebut dengan Kumpeni)
tetap dikuasai VOC dan ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh VOC akan
diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran memperoleh
setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian
disampaikan pada Paku Buwono III. Pada 4 November tahun yang sama, Paku Buwono
III menyampaikan surat pada Gubernur Jenderal VOC Mossel atas
persetujuan beliau tehadap hasil perundingan Gubernur Jawa Utara dan
Mangkubumi.
Berdasarkan
perundingan 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Paku Buwono III maka
pada 13 Maret 1755 ditandatangani 'Perjanjian di Giyanti yang kurang
lebih poin-poinnya, seperti dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai
berikut:
Pangeran Mangkubumi
diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman
Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang
diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran
Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Akan senantiasa diusahakan
adanya kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan
rakyat Kasultanan.
Sebelum Pepatih Dalem
(Rijks-Bestuurder) dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya
masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan
Gubernur.
Sri Sultan tidak akan
mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan
persetujuan dari Kumpeni.
Sri Sultan akan
mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
Sri Sultan tidak akan
menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah
diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya
pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri
Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
Sri Sultan akan
memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
Sri Sultan berjanji
akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Sultan berjanji akan
mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram
terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743,
1746, 1749.
Perjanjian ini dari
pihak VOC ditanda tangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J.
Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens. "
Perlu ditambahkan
Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer) dengan
persetujuan residen/gubernur adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari
yang sebenarnya (bukan di tangan Sultan).
Perjanjian Giyanti
belum mengakhiri kerusuhan karena kelompok Pangeran Sambernyawa (Raden Mas
Said) masih terus melakukan perlawanan terhadap Pakubuwana III. Latar belakang
perjanjian ini pada waktu selanjutnya diabadikan dalam bentuk babad yang
dinamakan Babad Giyanti.
Posting Komentar untuk "PERJANJIAN GIYANTI"