Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Variasi Bahasa Kolokial Pada Percakapan Sehari-hari Masyarakat Dusun Tanurejo Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung

 
Variasi Bahasa Kolokial Pada Percakapan Sehari-hari Masyarakat Dusun Tanurejo Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung
                              

Disusun Guna Menuhi Tugas Mata Kuliah Sosiolinguistik

Oleh
Nama                 : Arif Nugroho
Nim                    :2601413083
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Jurusan       : Bahasa dan Sastra Jawa
Rombel              : 03


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015


DAFTAR ISI


Bahasa merupakan alat komunikasi yang unik dan bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain. Bermacam-macam bahasa yang lebih banyak dari yang tersebar luas di muka bumi ini. Untuk mengetahui bahasa dari wilayah yang berbeda maka kita harus mengetahu sistem bahasa tersebut. Bahasa yang dikuasai peutur adalah bahasa pertama atau bahasa ibu. Pemerolehan bahasa pertama dengan proses-proses yang berkaitan dengan seseorang masih anak-anak. Oleh karena itu bahasa pertama erat kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat kaitannya dengan pembentukan identitas sosial. Ketika seseorang dalam suatu komunitas masyarakat tertentu, maka mereka akan belajar untuk mempelajari bahasa masyarakat tertentu tersebut. Bahasa yang kemudian dipelajari merupakan bahasa kedua. Jadi, pemerolehan bahasa kedua menyebabkan individu atau kelompok individu dapat menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai sarana berkomunikasi secara bergantian. Orang yang dapat menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai sarana komunikasi disebut dwibahasawan. Kontak bahasa yang terjadi dalam diri dwibahasawan menyebabkan saling pengaruh antara bahasa ibu (B1) dan bahasa kedua (B2). Saling pengaruh ini dapat terjadi pada setiap bahasa, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Penggunaan sistem bahasa tertentu pada bahasa lainnya disebut transfer. Bila sistem yang digunakan itu bersamaan, maka transfer itu disebut transfer positif. Sebaliknya, bila sistem yang digunakan itu berlainan atau bertentangan disebut transfer negatif.
            Adanya faktor-faktor sosial dan faktor-faktor situsional yang memengaruhi pemakaian bahasa maka timbullah variasi-variasi bahasa. Sedangkan adanya berbagai variasi bahasa menunjukkan bahwa bahasa – atau lebih tepatnya pemakaian bahasa – itu bersifat aneka ragam (heterogen). Keanekaragaman bahasa nampak dalam pemakaian baik secara individu maupun kelompok. Secara individu peristiwa itu dapat kita amati pada pemakaian bahasa seseorang. Setiap orang berbeda cara pemakaian bahasanya. Perbedaan itu bisa kita lihat dari segi lagu dan intonasinya, pilihan kata-katanya, susunan kalimatnya, cara mengemukakan idenya dan sebagainya. Atau dengan kata lain, kita dapat membedakannya dari segi fonetik-fonemiknya, kosa kata atau leksikonnya, gramatika serta gaya tuturannya. Sifat-sifat khusus (karakteristik) pemakaian bahasa perseorangan dikenal dengan istilah idiolek (Bloch, 1942).
            Secara kelompok heterogenitas pemakaian bahasa dapat dikenal antara lain dengan memperhatikan adanya dialek. Dialek menunjukkan adanya kekhususan pemakaian bahasa di dalam daerah tertentu atau tingkat masyarakat tertentu, yang berbeda dengan pemakaian bahasa di daerah atau tingkat masyarakat yang lain. Perbedaan pemakaian bahasa yang disebabkan oleh perbedaan asal daerah penuturnya disebut dialek geografis, sedangkan perbedaan pemakaian karena perbedaan tingkat kemasyarakatan penuturnya disebut dialek sosial atau sosiolek (Fishman, 1971:379). Dalam pengertian seperti itu mungkin sekali dalam suatu dialek geografis terdapat pula berbagai sosiolek, sebab masyarakat penutur yang memakai dialek daerah itu terdiri dari berbagai tingkat kemasyarakan.
            Penggunaan variasi bahasa kolokial ini dialami oleh masyarakat Dusun Tanurejo di Kec. Parakan Kab. Temanggung, di mana daerah tersebut merupakan daerah peralihan antara dua wilayah yang penggunaan bahasanya sudah jauh berbeda. Kec. Parakan ke arah barat berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo yang mayoritas bahasanya Banyumasan atau ngapak, dan Kec. Parakan ke arah timur penggunaan bahasanya sudah mengikuti gaya Mataraman karena Kab. Temanggung berbatasan dengan Kab. Magelang sampai ke selatan. Sedangkan yang arah utara berbatasan dengan Kab. Kendal dan sebagian Kab. Semarang. Dan yang menjadi titik fokus adalah daerah Kec. Parakan itu sendiri yang condong menggunakan bahasa bergaya Mataraman namun masih ada campuran bahasa Banyumasan atau ngapak dan juga tingkat intonasi yang sangat kental kekhasannya.
            Penggunaan dialek yang mengandung variasi bahasa kolokial tersebut tampak seperti contoh (1) berikut ini.
(1)   Rindi kang? Samang arek mlaku pa montorang?
“Mau kemana mas? Kamu mau jalan kaki atau naik angkot saja.”
                                                                  (Mbak Ning warga Dusun Tanurejo)
Dari contoh kalimat di atas terlihat kekhasan dialek daerah Parakan, yaitu pada pengucapan Rindi merupakan pemendekan dari “Maring ngendi” yang artinya “mau kemana”. Dan kata maring sendiri merupakan struktur kata bergaya Banyumasan. Kemudian pada kata Samang merupakan kata yang khas digunakan oleh masyarakat Temanggung pada umumnya dan masyarakat Parakan pada khususnya. Kata tersebut merupakan pemendekan dari kata “Sampeyan” dikarenakan lebih ringkasnya penggunaan kata “samang” dibanding dengan “sampeyan”. Kadang juga ada yang menggunakan kata sampeyan dengan lengkap, namun pada pengucapannya menjadi “Sampeyang”. Dan kata tersebut diartikan sama dengan kata “kamu”, ragamnya pun ada beberapa yang digunakan oleh masyarakat Temanggung Kec. Parakan seperti “Dhe e dan kowe”, namun yang lebih condong adalah penggunaan kata “dhe e dan samang”. Kemudian pada kata arek sama artinya dengan kata arep,pan,meh, apeh yang artinya adalah “Mau”, dan lebih condong menggunakan kata “arek” dan kadang ada juga yang mengucapkannya menjadi “ak”, misalnya “ak rindi kang?”. Selanjutnya pada kata pa merupakan pemendekan dari kata “apa” yang artinya adalah “apa”. Dan yang terakhir adalah pada kata montorang, ini adalah kata yang biasa digunakan masyarakat parakan dan sekitarnya. Lumrahnya adalah “montoran”, namun masyarakat Parakan terutama yang daerah pegunungan lebih nyaman menggunakan “montorang” yang artinya naik mobil/mengendarai mobil.
            Dari contoh kalimat di atas dapat kita ketahui bahwa bahasa yang digunakan pada suatu masyarakat atau komunitas sangat beragam dan unik atau memiliki kekhasan tersendiri. Bahkan mungkin hanya masyarakat terkait saja yang mengetahui dan mengerti maksud dari kata-kata yang digunakan pada kesehariannya.
Oleh sebab dari hal-hal tersebut maka peneliti tertarik meneliti kolokial “Variasi Bahasa Kolokial Pada Percakapan Sehari-hari Masyarakat Dusun Tanurejo Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung”. Sehingga pada akhirnya hasil dari penelitian diharapkan dapat menjadi tambahan informasi kepada peneliti-peneliti lain dan berguna bagi para pembaca.





1. Apa saja kata yang ditemukan yang terindikasi variasi bahasa kolokial di Dusun Tanurejo?
2. Bagaimana asal pembentukan kata variasi bahasa kolokial pada kata-kata yang diucapkan oleh masyarakat tersebut.
            Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah mengetahui dan mempelajari variasi bahasa kolokial dan kekhasan bahasa suatu komunitas pada daerah tertentu. Dan pada penelitian ini peneliti mengkhususkan pada komunitas masyarakat di Dusun Tanurejo Kec. Parakan Kab. Temanggung.
            Penelitian ini mempunyai dua manfaat, yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis.
a)      Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bahasa, khususnya dalam analisis variasi bahasa kolokial pada suatu komunitas di daerah tertentu.
b)      Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi para peneliti lain sebagai tambahan informasi mengenai analisis bahasa khususnya tataran sosiolinguistik.










            Landasan teoretis merupakan konsep dasar yang akan dipakai dalam penelitian ini. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini antara lain hakikat bahasa, hakikat sosiolinguistik, variasi bahasa kolokial, dan masyarakat Dusun Tanurejo Kec. Parakan Kab. Temnggung.
            Bahasa adalah sistim lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. (Kridalaksana : 1983)
            Ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa yaitu :
1.      Bahasa itu adalah sebuah sistem
2.      Bahasa itu  berwujud lambang
3.      Bahasa itu berupa bunyi
4.      Bahasa itu bersifat arbitrer
5.      Bahasa itu bermakna
6.      Bahasa itu konvensional
7.      Bahasa itu bersifat unik
8.      Bahasa itu bersifat universal
9.      Bahasa itu bersifat produktif
10.  Bahasa itu berfariasi
11.  Bahasa itu bersifat dinamis
12.  Bahasa itu manusiawi
Arti kata hakikat bila merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki pengertian intisari atau dasar. Hakikat bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang mendasar dari bahasa. (Ali, 1990)
Rumusan tentang hakikat bahasa Indonesia dikemukakan Machfudz (2000) bahwa, “Hakikat Bahasa Indonesia adalah : Bahasa sebagai simbol, Bahasa sebagai bunyi ujaran, bahasa bersifat arbitrer, dan bahasa bersifat konfensional.
Bahasa adalah sistem simbol vokal yang arbitrer yang memungkinkan semua orangdalam suatu kebudayaan tertentu, atau orang lain yang mempelajari sistemkebudayaan itu, berkomunikasi atau berinteraksi. (Finoechiaro, 1964:8)
Bahasa merupakan sistem bunyi atau urutan bunyi vokal yang terstruktur yang digunakan atau dapat digunakan dalam komunikasi internasional oleh kelompok manusia dan seara lengkap digunakan untuk mengungkapkan sesuatu, peristiwa, dan proses yang terdapat di sekitar manusia. (Carol, 1961:10)
            Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaiannya di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian bahasa (language use) adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi kongkret (Appel, 1976:9).
            Di dalam masyarakat seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah dari yang lain. Ia merupakan anggota dari kelompok sosialnya. Oleh sebab itu bahasa dan pemakaian bahasanya tidak diamati secara individual, tetapi selalu dihubungkan dengan kegiatannya di dalam masyarakat. Atau dengan kata lain, bahasa tidak saja diapandang sebagai gejala individual tetapi juga merupakan gejala sosial.
            Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oelh faktor-faktor nonlinguistik, antara lain adalah faktor-faktor sosial. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa misalnya status sosia, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Di samping itu pemakaian bahasa juga dipengaruhi oleh kepada siapa, kapan, di mana dan mengenai masalah apa, seperti dengan ringkas dirumuskan Fishman (1967:15) “who speaks what language to whom and when”.
            Berdasarkan etimologi, sosiolinguistik berasal dari dua kata yaitu sosio dan linguistik. Sosio berasal dari kata sosiologi, yakni ilmu yang menelaah bidang sosial yang mengkaji bagaimana masyarakat itu terbentuk, bagaimana manusia beradaptasi, bersosialisai, dan bagaimana menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik diartikan sebagai ilmu bahasa atau kajian yang mengenai bahasa sebagai sasaran utamanya. Penjelasan lain menyebutkan sosio adalah masyarakat dan linguistik mengenai kajian bahasa.sehingga sosiolinguistik tersebut lahir untuk menjawab berbagai fenomena sosial dan bahasa (Chaer dan Agustina, 2010:2).
            Sosiolinguistik sebagai ranah kajian diantara bahasa dan masyarakat sosial, diantara pengguna bahasa dan struktur sosial dimana pengguna bahasa itu hidup (Spolsky, 2008:30)
            Trugil menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan gejala kebudayaan. Implikasi dari pengertian ini menyatakan bahwa bahasa bukan hanya dianggap sebagai gejala sosial melainkan juga gejala kebudayaan (Sumarsono dan Partana, 2004:3-4).

            Kolokial (colloquial) adalah bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat penutur bahasa di daerah tertentu, kolokial dikenal juga sebagai bahasa sehari-hari, bahasa percakapan atau vernakuler (Maryono D, 1995:28).
            Kolokial terjadi pada ragam bahasa lisan, karena ragam bahasa lisan cenderung bersifat praktis dan bersifat melanggar aturan kaidah tatabahasa. Bahasa kolokial khas bagi situasi bertutur tertentu, yakni situasi santai (Basuki Suhardi, 1995:163). Kosakatanya berupa kata-kata yang telah mengalami penurunan sesuai situasi.
            Adapun ciri-cirinya sebagai berikut, kolokial menggunakan ragam bahasa lisan bukan tulisan, ujaran dan isi pembicaraan yang ringkas, bobot pembicaraan ringan, adanya kedekatan antara kedua penutur.
           
            Dusun Tanurejo merupakan salah satu dusun di Kecamatan Parakan dan bagian dari Kabupaten Temanggung yang terletak sekitar kurang lebih 18km arah barat dari Kabupaten Temanggung. Tanurejo adalah desa yang yang tidak begitu luas dan berpenduduk tidak terlalu padat. Untuk mencapai dusun ini sangatlah mudah karena terletak dekat dengan jalan utama atau jalan nasional arah Kec. Bansari. Bisa juga melewati jalur utama arah Jakarta, yaitu  melewati dusun Bajangan arah dusun Traji
            Pekerjaan mayoritas masyarakat dusun Tanurejo adalah petani dan tukang bangunan. Dan ciri khas musiman adalah tanaman tembakau sebagai senjata andalan masyarakat Dusun Tanurejo dalam perekonomiannya.



























            Dalam suatu penelitian digunakan metode dan teknik tertentu dengan tujuan agar penelitian yang dilakukan mempunyai arah yang tidak menyimpang dari tujuan yang diinginkan. Tahap-tahap metode penelitian bahasa tersebut antara lain pendekatan penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik pemaparan hasil analisis data.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan dan metode cakap. Metode simak disejajarkan dengan metode observasi dalam penelitian sosial (Sudaryanto, 1993:133). Metode cakap disejajarkan dengan metode wawancara dalam penelitian sosial (Sudaryanto, 1993:137). Metode simak memainkan peran yang sangat penting untuk mengecek kembali penggunaan bahasa yang diperoleh dengan metode cakap. Tidak jarang detemui dalam penelitian bahasa, misalnya bidang dialektologi, informan, karena alasan tertentu, misalnya malu dianggap isoleknya kurang prestise lalu cenderung memberi keterangan tentang seuatu bentuk yang prestise (dialek standar). Padahal sesungguhnya tidak terdapat dalam isoleknya (Mahsun, 2011:94).
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara kepada responden dan dilakukan dengan merekam dan mencatat setiap berian yang diberikan oleh responden berkenaan dengan daftar tanya atau percakapan spontan yang keluar dari mereka dengan menggunakan teknik pancing.
            3.2 Data dan Sumber Data
                                    Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik fakta maupunangka yang dapat digunakan untuk menyusun suatu informasi (Arikunto 2006:118). Data bisa berupa kata-kata, tulisan, angka, rekaman maupun fakta. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kalimat-kalimat dan pernyataan-pernyataan dari narasumber/responden terkait yang menjadi objek penelitian peneliti yaitu pada masyarakat terkait di Dusun Tanurejo Kec. Parakan Kab. Temanggung.
                                    Sumber data adalah subjek dari mana data diperoleh (Arikunto 2006:129). Sumber data penelitian ini berupa rekaman suara dari salah satu warga di Dusun Tanurejo Kec. Parakan kab. Temanggung.
            3.3 Teknik Pengumpulan Data
                                    Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik dokumentasi dan teknik catat. Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu (dalam Sugiyono, 2009:329). Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.dokumen yang berbentuk tulisan bisa berupa catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, seketsa, dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, rekaman suara, dan lain-lain. Dokumen dalam penelitian ini termasuk dalam bentuk rekaman suara hasil wawancara terhadap narasumber.
            3.4 Teknik Analisis Data
                                    Menurut Bogdan & Biklen (dalam Moleong 2010:248) analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-melahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintetiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apayang penting dan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Penelitian ini menggunakan teknik pilah. Teknik pilah ialah memilah-milah data sesuai dengan jenis penentu yang akan dipisah-pisahkan atau dibagi menjadi berbagai unsur.
Adapun dasar pembagiannya atau dasar pemisahannya sudah barang tentu disesuaikan dengan sifat atau watak unsur penentu itu masing-masing (dalam Sudaryanto 1993:21). Data dalam penelitian ini yang berupa rekaman suara hasil wawancara dengan narasumber, setelah didengarkan berulang-ulang dan dicatat hal-hal penting di dalamnya kemudian di analisis kekhasannya dalam tataran sosiolinguistik.
                                    Metode ini menggunakan metode penyajian informal karena data yang dipaparkan menggunakan rumusan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis (dalam Sudaryanto 1993:145). Pemilihan metode secara informal ini disesuaikan dengan karakter data yang tidak memerlukan adanya tanda-tanda atau lambang-lambang. Metode ini digunakan untuk mendiskripsikan data yang telah diklasifikasikan, sehingga dapat memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan rumusan masalah.


















            Pada bab ini dipaparkan pembahasan mengenai variasi bahasa kolokial pada percakapan sehari-hari masyarakat Dusun Tanurejo Kec. Parakan Kb. Temanggung. Hasil penelitian tentang variasi bahasa kolokial pada percakapan sehari-hari masyarakat Dusun Tanurejo Kec. Parakan Kab. Temanggung meliputi penemuan kata-kata yang terindikasi variasi bahasa kolokial, pemendekan kata tunggal, dan pemendekan dua kata menjadi satu kata.
            Peneliti telah melakukan penelitian atau observasi lapangan kepada masyarakat Dusun Tanurejo Kec. Parakan Kab. Temanggung dengan cara melakukan wawancara langsung kepada narasumber. Dan peneliti telah menganalisis hasil wawancara yang berupa rekaman tersebut untuk mendapatkan hasil data berupa daftar kata-kata yang terindikasi variasi bahasa kolokial.
            Berikut merupakan daftar kalimat yang peneliti ingin jadikan bahan/data yang memuat kata-kata asli dari masyarakat Dusun Tanurejo Kec. Parakan Kab. Temanggung.
(1)   Rindi kang ak ring Parakang? Samang arak mlaku pa montorang?
“Mau kemana mas? Kamu mau jalan kaki atau naik angkot saja.”
(2)   Nyong ak ring Parakang, ha dhe ak rindi?
“Aku mau ke Parakan, lah kamu sendiri mau kemana?”
(3)   Dhe ke sapa ta sakjane?
“Kamu itu siapa sebenarnya?”
(4)   Njuk dhe e ke ak ngapa jal?
“Terus kamu itu mau ngapain coba?”
(5)   Piye kiye, kok njuk dadi kongene kiye?
“Gimana ini, lalu kok bisa jadi benini ini?
(6)   Gorene kubane, tak dijanganake.
“Bawa kemari, saya masakin.”
(7)   Nggon sapa ta kiye? Ha nggon peyang kuwe?
“Punya siapa ini? Lah milik kamu kan itu?”
(8)   Gek apa samang?
“Sedang apa kamu?”
(9)   Dhe ramak rene wae!
”Kamu tidak usah kesini!”
(10)           Rasah digople mbokang!
“Tidak usah ditanggapi saja!”
(11)           Enyong rakang tuku ah.
“Saya tidak mau beli.”
(12)           Wedange dombenya!
“Minumannya diminum ini!”
(13)           Mbok rene samang ke, rapapa rane seneni.
”Kesini dong kamu itu, tidak apa-apa tidak akan dimarahi kok.”
Dan hasil dari analisis kata yang terdapat/termuat dalam kalimat-kalimat tersebut sebagai berikut.
1. Samang   12. Jalu
2. Dhe          13. Gek
3. Peyang     14. Ramak
4. Rindi        15. Rasahu
5. Ak             16. Rapapa
6. Ke             17. Cincin
7. Ngapa      18. Rene
8. Pa
9. Njuk
10. Kongene
11. gorene

Pemendekan kata tunggal tanpa mengubah makna terdapat pada kata-kata berikut ini.
1.      samang
Samang merupakan kata yang khas digunakan oleh masyarakat Temanggung pada umumnya dan masyarakat Parakan pada khususnya. Kata tersebut merupakan pemendekan dari kata “Sampeyan” menjadi lebih ringkas penggunaan kata “samang” dibandingkan dengan “sampeyan”. Kadang juga ada yang menggunakan kata ”sampeyan” dengan lengkap, namun pada pengucapannya menjadi “Sampeyang”. Dan kata tersebut diartikan sama dengan kata “kamu”, ragamnya pun ada beberapa yang digunakan oleh masyarakat Temanggung Kec. Parakan seperti “Dhe e, peyang dan kowe”, namun yang lebih condong adalah penggunaan kata “dhe e dan samang”. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :

(1)   Rindi kang ak ring Parakang? samang arek mlaku pa montorang?
“Mau kemana mas? Kamu mau jalan kaki atau naik angkot saja.”

2.      Dhe
Dhe merupakan sebuah kata khas daerah Temanggung, khususnya Kecamatan Parakan. Dusun Tanurejo pun tak luput menggunakan kata ini. Kata dhe merupakan pemendekan dari kata “dhe e/dheke” yang merupakan kata yang lumrah diucapkan oleh masyarakat tersebut. Masyarakat sering menggunakan kata “dhe e/deke” dalam keadaan biasa dan digunakan kepada teman yang akrab. Kemudian berubah menjadi “dhe” dikarenakan meningkatnya tempo ucapan/tuturan seseorang tersebut, biasanya lebih dengan nada terburu-buru atau marah. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :
(2)   Nyong ak ring Paraang, ha dhe ak rindi?
“Aku mau ke Parakan, lah kamu sendiri mau kemana?”
(3)   Dhe ke sapa ta sakjane?
“Kamu itu siapa sebenarnya?”
(9) Dhe ramak rene wae!
”Kamu tidak usah kesini!”
3.      Peyang
Peyang merupakan pemendekan dari kata “Sampeyan”. Proses pembentukannya adalah dari keadaan utuh, yaitu “sampeyan” menjadi “samang” atau “peyang”. Itu dikarenakan penghematan pengucapan oleh penutur karena dirasa lebih efisien dalam pengucapannya. Dari kata “sampeyan” hanya di ambil “sam dan an” dan atau hanya“peyan” saja dan terpengaruh logat, dimana logat khas daerah Parakan adalah fonem “n” pada akhir sebuah kata akan dibaca “ng”. Misalnya “montorang”,”bal-balang”,”telpunang” dan masih banyak lagi. Kemudian dari pengaruh logat tersebut, maka kata “saman” dan “peyan” berubah menjadi “samang” dan “peyang” yang memiliki arti kata “kamu”. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :

(7) Nggon sapa ta kiye? Ha nggon peyang kuwe?
“Punya siapa ini? Lah milik kamu kan itu?”

4.      Ak
Ak merupakan sebuah pemendekan dari kata “arak” yang memiliki arti sama dengan “arep” atau dalam bahasa Indonesia berarti “mau”. Bahkan dalam pengucapan kadang lebih ringkas lagi yang kemudian digabung dengan kata yang mengikutinya, misalnya “a rindi?”, “a ring kali”, “a tuku sega”, dan lain-lain. Kata ini hanya mengambil fonem “a dan k” saja dari kata “arak” dikarenakan lebih ringkas dan lebih cepat dalam pengucapannya. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :
(2) Nyong ak ring Paraang, ha dhe ak rindi?
“Aku mau ke Parakan, lah kamu sendiri mau kemana?”
(4) Njuk dhe e ke ak ngapa jal?
“Terus kamu itu mau ngapain coba?”

5.      Ke
Ke merupakan sebuah pemendekan dari kata “kuwe” yang memiliki makna “itu”. Kata ini mengambil fonem “k dan e” saja, dikarenakan lebih simpel dan lebih ringkas dalam pengucapannya. Dalam pengucapannya juga dipengaruhi oleh faktor logat dan kecepatan pengucapan kata dalam sebuah kalimat percakapan yang lumrah.
Kata ini terdapat dalam kalimat berikut :
(3) Dhe ke sapa ta sakjane?
“Kamu itu siapa sebenarnya?”
(4) Njuk dhe e ke ak ngapa jal?
“Terus kamu itu mau ngapain coba?”

6.      Pa
Pa merupakan sebuah pemendekan dari kata “apa” yang memiliki makna “apa”. Kata ini hanya mengambil kosa kata terakhir dari kata “apa” yaitu “pa”. Penggunaan kata ini juga dikarenakan lebih ringkas dan lebih simpel dalam pengucapannya. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :

(1) Rindi kang ak ring Parakang? Samang arek mlaku pa montorang?
“Mau kemana mas? Kamu mau jalan kaki atau naik angkot saja.”

7.      Njuk
Njuk merupakan sebuah pemendekan dari kata “banjur” yang memiliki makna “lalu/terus”. Kata ini merupakan kata yang terpengaruh oleh logat khas Parakan, karena dalam pemendekannya seharusnya menjadi “njur”, walaupun penggunaan kata “njur” pun juga ada. Kata ini biasanya digunakan untuk makna yang interogatif dalam penggunaannya. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :
(4) Njuk dhe e ke ak ngapa jal?
“Terus kamu itu mau ngapain coba?”
(5) Piye kiye, kok njuk dadi kongene kiye?
“Gimana ini, lalu kok bisa jadi benini ini?
8.      Jal
Jal merupakan pemendekan dari kata “jajal” yang berarti “coba”. Kata ini diambil dari kosa kata terakhir dari kata ‘jajal” yaitu ‘jal” dan tidak mengurangi nilai makna dari kata seutuhnya. Kata ini juga digunakan karena lebih singkat dan simpeldalam pengucapannya. Kata ini ada pada kalimat berikut :
(4) Njuk dhe e ke ak ngapa jal?
“Terus kamu itu mau ngapain coba?”
9.      Gek
Gek merupakan pemendekan dari kata “lagi” yang memiliki makna “sedang”. Kata “gek” ini sebenarnya jika dipendekkan menjadi “gi”, hanya saja terpengaruh oleh logat yang menjadikan kata “lagi” menjadi kata “lagek” dan pemendekan “gi” menjadi “gek”, namun tidak mengubah makna sedikitpun. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :
(8) Gek apa samang?
“Sedang apa kamu?”
10.  Ring
Ring merupakan pemendekan dari kata “maring” yang memiliki makna “mau ke”. Dan jika dikaji dari maknanya, kata “maring” ini dapat saya analisis merupakan pemendekan dari kata “mara ing” yang memiliki arti “mau ke”, namun terdapat kejanggalan, yaitu pada penulisannya. Harusnya penulisan dari pemendekan “mara ing” adalah “mareng” karena menurut persandiannya jika fonem “a” bertemu fonem “i”, maka akan menjadi “e”. Dan menurut analisis saya dari pengamatan-pengamatan secara fonologis huruf “e” pada kata “mareng” bisa menjadi “maring” adalah karena kebiasaan pengucapan masyarakat yang lebih nyaman menuturkannya seperti itu, dan lama-kelamaan kata itu semakin terbiasa didengar dan semakin banyak yang menggunakannya. Sehingga dalam penulisannya pun menjadi terpengaruh akibat kebiasaan dan kelumrahan yang sering dituturkan oleh masyarakat. Dan karena semakin luas penggunaannya, secara sosiolinguistik kata ini telah menjadi kata yang termasuk dalam variasi bahasa kolokial. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :
(2) Nyong ak ring Paraang, ha dhe ak rindi?
“Aku mau ke Parakan, lah kamu sendiri mau kemana?”

11.  Rene
Rene merupakan pemendekan dari kata “mrene” atau bisa dikatakan pelesapan fonem “m” dan memiliki makna “kesini”. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :
(9) Dhe ramak rene wae!
”Kamu tidak usah kesini!”
(13) Mbok rene samang ke, rapapa rane seneni.
”Kesini dong kamu itu, tidak apa-apa tidak akan dimarahi kok.”

            Pemendekan dua kata menjadi satu kata sering digunakan oleh masyarakat terkait seperti yang akan kita bahas berikut ini.
1.       Rindi
Rindi merupakan pemendekan 2 buah kata menjadi 1 kata dalam pengucapannya yaitu “maring ngendi” yang memiliki makna “mau kemana”. Proses terjadinya adalah faktor kebiasaan masyarakat yang meringkas-ringkas bahasa tutur karna logat yang cepat dan kondisi soisal yang akrab dan kondisi waktu yang agak terburu-buru. Berawal dari “maring ngendi” menjadi “ringndi” dan semakin lama menjadi “rindi” dan tidak mengubah makna seutuhnya. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :
(1) Rindi kang ak ring Parakang? Samang arek mlaku pa montorang?
“Mau kemana mas? Kamu mau jalan kaki atau naik angkot saja.”
(2) Nyong ak ring Paraang, ha dhe ak rindi?
“Aku mau ke Parakan, lah kamu sendiri mau kemana?”
2.      Ngapa
Ngapa merupakan pemendekan 2 kata menjadi 1 kata yaitu “kenang apa” yang memiliki makna “ngapain”/”mau apa”. Kata ini terbentuk karena kebiasaan masyarakat terkait lebih nyaman menggunakan kata-kata yang ringkas dan singkat dan tanpa mengubah arti. Namun ketika dalam keadaan sedikit lebih formal maka penggunaan kata akan cenderung lebih lengkap dan tidak terburu-buru. Berawal dari kata “ kenang apa” menjadi “nangapa” dan kemudian menjadi “ngapa” dan tidak mengubah makna ketika diucapkan. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :
(4) Njuk dhe e ke ak ngapa jal?
“Terus kamu itu mau ngapain coba?”

3.      Kongene
Kongene merupakan pemendekan 2 buah kata menjadi 1 kata yaitu “kaya ngene” yang memiliki makna “seperti ini”. Pembentukan kata ini juga dipengaruhi oleh kecepatan pengucapan dan keringkasan pengucapannya. Sebenarnya dalam penulisannya yang benar dilihat dari struktur pembentukan kata adalah “kangene”, namun terpengaruh oleh logat dalam pengucapannya diamana kata “kaya” fonem “a” nya dibaca “a” miring hampir menyerupai “o”. Kemudian masyarakat dalam pengucapan yang seperti itu menjadikan penulisannya juga sesuai dengan pengucapannya yaitu “kongene”. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :
(5) Piye kiye, kok njuk dadi kongene kiye?
“Gimana ini, lalu kok bisa jadi benini ini?

4.      Gorene
Gorene juga merupakan pemendekan 2 kata menjadi satu kata yaitu “Gawa rene” dan memiliki makna “bawa kemari”/”bawa ke sini”. Dan kasusnya sama dengan proses pembentukan kata “kongene” dimana “gorene” dalam penulisan yang sebenarnya adalah “garene” jika disinkronkan/dilihat dari struktur pembentukan kata. Dan maknanya tetap sama dengan kata yang seutuhnya. Kata ini terdapat pada klimat berikut :
(6) Gorene kubane, tak dijanganake.
“Bawa kemari, saya masakin.”

5.      Ramak
Ramak merupakan pemendekan dua buah kata menjadi satu kata yaitu “ora semak” dimana “semak” merupakan sinonim dari kata “susah”/”usah” yang memiliki “usah” dan dipertegas dengan kata “ora” dan memiliki makna “tidak usah”. Kata ini lumrah diucapkan oleh masyarakat terkait dan beberapa kecamatan di Temanggung. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :
(9) Dhe ramak rene wae!
”Kamu tidak usah kesini!”
6.      Rasah
Rasah merupakan pemendekan dari dua buah kata menjadi satu kata dalam pengucapannya, yaitu “ora susah”/”ora usah” yang memiliki makna sama dengan kata “ramak” yaitu “tidak usah”. Kata ini juga lumrah digunakan dimasyarakat sejajar dengan kata “ramak” merupakan ragam saja dalam pemilihan kata saat berkomunikasi secara santai. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :

(10) Rasah digople mbokan!
“Tidak usah ditanggapi saja!”

7.      Rapapa
Rapapa merupakan pemendekan 2 buah kata dengan satu reduplikasi kata yang digabungkan menjadi satu kata dalam pengucapan, yaitu “ora kenapa-kenapa” yang memiliki makna “tidak apa-apa”/”tidak kenapa-kenapa”. Dalam kasus ini kosa kata yang digunakan yaitu “ra” dari “ora” dan “papa” dari “kenapa-kenapa” dan maknanya bisa menjadi “tidak apa-apa” dan “tidak kenapa-kenapa” namun kelasnya sama dalam pengucapannya dan kelas maknanya. Kata ini lumrah digunakan oleh masyarakat terkait dalam percakapan santai. Kata ini terdapat pada kalimat berikut :
(13) Mbok rene samang ke, rapapa rane seneni.
”Kesini dong kamu itu, tidak apa-apa tidak akan dimarahi kok.”





















            Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian, dapt disimpulkan bahwavariasi bahasa kolokial pada masyarakat Dusun Tanurejo Kec. Parakan Kab. Temanggung terjadi pada pembentukan kata yang lebih singkat dan ringkas dalam pengucapannya ketika berkomunikasi dan dipengaruhi oleh logat setempat, kecepatan pengucapan, keadaan atau waktu pengucapan, dan kepada siapa kata itu digunakan. Variasi bahasa kolokial pada percakapan sehari-hari masyarakat Dusun Tanurejo Kec. Parakan Kab. Temanggung meliputi penemuan kata-kata yang terindikasi variasi bahasa kolokial, pemendekan kata tunggal, dan pemendekan dua kata menjadi satu kata.
            Bagi peneliti bidang bahasa hendaknya dapat menggali dan mengungkapkan permasalahan dalam bidang variasi bahasa kolokial lainnya karena masih banyak aspek yang dapat diteliti selain variasi bahasa kolokial tataran sosiolinguistik.











Anjani, Tri. 2011. Kesalahan Berbahasa Jawa Tataran Morfologi Pada Karangan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Bantarkawung. Universitas Negeri Semarang
Doyin, Mukh dan Wagiran. 2012. Bahasa Indonesia Pengantar Penulisan karya Ilmiah. Semarang: Pusat Pengembangan MKU/MKDK-LP3.
https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/05/21/landasan-teori-kerangka-pikir-dan-hipotesis-dalam-metode-penelitian/
https://kurniahidayati.wordpress.com/2011/06/16/tema-topik-dan-judul/
Kurniati, Endang. 2008. Sintaksi Bahasa Jawa. Semarang: Griya Jawi.
mouzena20.blogspot.in/2013/04/pengertian-dialek-dan-idiolek.html?m=1
pangaganteng.blogspot.nl/2013/03/proposal-dialektologi.html?m=1
sastra33.blogspot.in/2011/06/linguistik-umum-2.html?m=1

Suwito. 1985. Sosiolinguistik Pengantar Awal. Surakarta: Henary Offset Solo.

Posting Komentar untuk "Makalah Variasi Bahasa Kolokial Pada Percakapan Sehari-hari Masyarakat Dusun Tanurejo Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung"