SUNGSANG BAWANA BALIK
Sebelum perang dunia II yang
berarti “Alam semesta terjungkir balik”. Isi cerita tersebut dianggap pula
sebagai Ilmu Kesempurnaan Hidup (Ngelmu Kasampurnan). Pencipta cerita itu ialah
Ks. Wiryasusastra. Ajaran ini yang terkandung didalamnya khusus meliputi
mahkluk hidup pada umumnya, dan manusia pada khususnya, dengan maksud memberi
petunjuk jalan kepada umat manusia dalam usahanya mencapai kesempurnaan hidup.
Satu sama lain digambarkannya secara plastis (dengan sesuatu wujud), sesuai
dengan keadaan wajar dalam masyarakat (Jawa), sebagai berikut :
Dalam lukisan tersebut yang
memegang peranan penting, peranan utama, ialah Rahsa Jati (le moi subti), yang
mewujudkan “asas Ketuhanan Yang Maha Esa” (Goddelyk levensbeginsel atau Wiji),
ataupun “Rahasia Hidup”. Seolah-olah Rahsa jati itu merupakan seorang manusia.
Dalam pada itu “Jati” berarti hidup yang menghidupkan. Rahasia dan hidup (jati)
itu baik, dialam fana maupun baka, satu sama lain tak dapat dipisahkan.
Tegasnya pengertian yang satu tak dapat dipisahkan daripada pengertian yang
lain. Senantiasa berdampingan satu sama lain. Dengan perkataan lain hidup itu
pada hakekatnya selalu diliputi oleh, atau sama nilainya dengan rahasia!.
Sedangkan tiap rahasia, yaitu tiap hal yang belum atau tidak diketahui, sedikit
banyak selalu berdaya dan berlaku menurut kodrat alam. Sebagai perangsang
membangkitkan semangat, menggerakkan pelbagai hasrat sehingga menjadi sesuatu
kegiatan kearah terbukanya rahasia bersangkutan. Tegasnya menyadari hal-hal
yang tersembunyi dibelakang rahasia tersebut. Secara wajar atau tidak, ataupun
bersifat batiniah belaka.
Paling sedikit pada umat manusia
peristiwa itu merupakan salah satu sifat yang khas. Perangsangan adalah suatu
hal yang esensiil terhadap hidup. Tiada hidup tanpa perangsangan ! Dalam
hubungan ini kiranya, dapat dikemukakan pula; bahwa kegiatan/pergerakan (pada
manusia) itu merupakan salah satu keistimewaan (essentialia) hidup. Falsafah
hidup menurut konsepsi Wiryasusastra tersebut ternyata sangat mirip dengan yang
diilhami oleh falsafah hidup bangsa Arab, dalam hal ini menurut ajaran Agama
Islam, sebagai berikut :
I. Pada suatu hari
oleh sang Jati dengan para pembantu utamanya, antara lain patih “rahsajati” dan
para menteri bupati “Sukma Wisesa”, “Sukma Purba”, Sukma Langgeng”, dan “Sukma
Luhur”, dimusyawarahkan kebijaksanaan terbaik yang harus diambil demi
penyebaran “Wiji” (benih) atau asas hidup itu.
Keempat tokoh tersebut diatas
bersama menguasai yang disebut “Alam Papat” (lihat bagan). Dalam perinciannya
masing-masing menguasai nafsu luawamah, amarah, mutmainah dan supiah, dibawah
pimpinan dan pengawasan Rahsajati atau mulhimah. Dalam kesusastraan Jawa
terkenal dengan “Sedulur Papat Lima Pancer”.
Sementara itu dalam musyawarah
tersebut diambil kesimpulan untuk mengirim Rahsajati beserta keempat menteri
bupatinya tadi kebumi (dunia fana) guna melaksanakan tujuan tersebut diatas.
Kemudian Sang Jati mengundurkan
diri kembali keistananya.
Dalam perjalanannya kebumi
selanjutnya mereka yang bertugas terpaksa melintasi wilayah kediaman para Jin
(badan halus, lelembut) dalam hal ini berarti rintangan, hambatan, godaan, dsb.
Wilayah itu dalam kesusastraan Arab dinamakan kediaman Malaikat, bidadara dan
bidadari, yang dalam kesusastraan Arab disebut Alam hidayat, Alam nuriyah dan
Alam Siriyah. Alam-alam tersebut meliputi “Alam Sipat Loro” (bhs Jawa), yang
dalam kesusastraan Arab disebut Ashadhu’anna dan Waashadhu’anna.
Stelah meninggalkan “Alam”
tersebut tibalah mereka dalam Alam ruhiyah dan Alam jawaliyah, yang dalam
kesusastraan jawa disebut “Alam Telu”. Pada tempat ini mereka berhenti sejenak.
Dalam kesempatan ini itu mereka mulai membentuk sebuah tabir. Guna keperluan
mereka kelima bersama. Bahan-bahan bangunannya terdiri dari zat-zat (essenties)
yang diperlukannya dari keempat unsur poko hidup. Dalam hal ini bumi (bantala),
api (agni), angin (udaka) dan air (tirta).
Setelah karya tersebut selesai
mereka meneruskan perjalanannya, melalui sifat kamal, jamal, jalal dan sifat
kahar. Sifat-sifat ini bersama dalam kesusastraan Jawa dinamakan “Sipat Papat”
menuju kearah alam nasut, malakut, jabarut dan Alam lahut. Sifat-sifat atau
alam-alam ini dalam “Ilmu Kejawen” terkenal sebagai Alam Papat.
Menurut Kanjeng Sunan Kalijaga
alam-alam tersebut dalam “Ilmu Kejawen” terkenal sebagai “Alam Papat”. Kelak
akan dialami setiap orang dalam akhirat. Makananya sajan rasa, “Alam Papat” itu
bersifat “langgeng” atau abadi, dalam hal ini tidak berubah lagi sedikitpun
juga, sepanjang masa. Pengertian itu tergolong pada kerohanian, bersifat mujarad,
mengandung pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa.
Alam Papat tersebut diatas,
menurut pandangan hidup suku bangsa Jawa kuno, terdiri atas :
- Alam rohiyah atau Alam hidayat. Dikuasai oleh
nyawa, jiwa (ziel, soul).
- Alam Suriyah atau Alam Nasut (berarti kelalaian).
Dikuasai oleh perasaan atau sifat Lauwamah, Amarah, Supiah dan Mutmainah.
- Alam nuriyah, dalam 2 (dua) tingkat (nuriyah
dan nuriyah luhur). Dikuasai oleh Pramana dan atau Hidayat, yang berarti
kewaspadaan dan petunjuk. Didalamnya termasuk Alam Iskat, yang dikuasi
oleh syahwat atau libido sexual.
- Alam uluhiyah. Dalam 3 (tiga) tingkat :
Uluhiyah, Uluhiyah Luhur dan Uluhiyah yang paling luhur. Dikuasai oleh
rasa Ketuhanan Yang Maha Esa. Tingkat hidup ini pada lain kesempatan
disebut pula Makrifating makrifat.
Kemudian perjalanan “para utusan”
tersebut diatas (=roh) langsung menuju ke-Alam aba’iyya (Alam akhadiyat), wabda
(Alam wahdat), wahidirya (Alam wakhidiyat), arwah (Alam arwah), mitsal (Alam
misal), ajsam (Alam ajsam), insan kamil (manusia sempurna). Alam-alam ini
bersama dalam kesusastraan Jawa disebut “Alam Pitu”.
Jalan yang terkhir itu melalu
daerah tandus, hutan rimba belantara, sambil mendaki gunung yang penuh dengan
jurang dan lereng, yang dalam atau tidak dalam, besar kecil. Arti kiasannya
ialah pelbagai rintangan, tantangan dan kesulitan yang harus diatasi selama
hidupnya. Dengan perkataan lain jalan itu pada galibnya (ataukah harus), mau
tidak mau, melalui perjuangan yang hebat.
Jalan melalui “Alam Pitu” itu
menuju kearah sebuah gua yang penuh dengan berbagai rahasia.
Gua tersebut memperlambangkan
“Hubungan Antara Kelamin” (antara pria dan wanita), yang penuh diliputi hal-hal
yang pada hakekatnya kerapkali merupakan suatu tanda tanya besar (rahasia).
Pada suatu ketika Rahsajati dan
rombongan masuk kedalam gua tersebut. Saat ini memperlambangkan titik
persetubuhan tatkala sang alat kelamin laki-laki (penis) melintasi pinti
gerbang luar liang peranakan (introitus vaginae). Saat itu dinamakan
“Jayengdriya” (bhs Jawa), dalam bahasa Arab Bait al-mukadas, yang berarti
“peningkatan, pemusatan atau penguasaan pancaindra kita” (titil timbulnya
puncak syahwat = orgasme).
Dalam gua tersebut “para utusan”
tadi melintasi berbagi jalan yang satu sama lain sejajar letaknya. Jalan-jalan
tersebut bersambung satu sama lain dengan 20 buah pintu berganda !. Nama-nama
jalan tersebut masing-masing sama dengan nama SIFAT KETUHANAN YANG MAHA ESA
(dalam bahasa Jawa : Sifat rongpuluh), yaitu :
1. Wujud, 2. Qidam, 3. Baqa, 4.
Muhalafalil Hawadis, 5.Qiyamuh Binafsihi, 6. Wahda Niyat, 7. Qodrat, 8. Irodat,
9. Ilmu, 10. Hayat, 11. Samak, 12. Bashar, 13. Qalam, 14. Qadiran, 15. Muridan,
16. Aliman, 17. Hayan, 18. Samian, 19. Basiran, 20. Mutakalinan.
Dipandang sepintaslalu pernyataan
tersebut diatas itu bertentangan dengan pengertian “TAN KENA KINAYA NGAPA”! ada
sifatnya, tetapi tidak ada wujudnya, misalnya ! Mungkinkah ini????.
Menurut “Ilmu Kejawen” (Serat
Wirid Hidayat Jati) SIPAT DUA PULUH itu meliputi :
~SATU~
- Allah (Tuhan Yang Maha Esa atau Tuhan Yang Maha
Suci), dalam hal ini berarti “Hidup yang menghidupkan segenap makhluk
hidup”.
- Kun (bhs Arab), berarti firman Tuhan.
- Nukat gaib, berarti “Benih yang bersifat
rahasia”.
~DUA~
- Dzat, berarti intisari (essence) (Tuhan Yang
Maha Esa).
- Sifat (bhs Jawa), berarti warna atau cahaya (Tuhan
Yang Maha Esa).
- Asma, berarti nama, julukan Tuhan Yang Maha
Esa.
- Angpal, berarti budipekerti Tuhan Yang
Maha Esa.
~TIGA~
- Dzat mutelak, berarti jasad atau badan wadag.
- Dzat subekti, berarti jiwa (roh, badan halus).
- Dzat Salikin, berarti perasaan.
- Dzat suhud, berarti nukad gaib (=sub 1c).
~EMPAT~
- Kahar atau agung, berarti segala keluhuran
insani.
- Jalal atau elok, berarti “tiada bandingnya”
perihal sifat kelaminnya. Dalam artkata “bukan pri, bukan wanita, bukan
banci”. (Sukar dibayangkan untuk dan oleh seorang manusia biasa).
- Jamal atau wisesa, berarti “nartani” (bhs Jawa)
= segala keadaan.
- Kamal atau sempurna, berarti sempurna
budipekertinya, menimbulkan keadaan yang wajar.
~LIMA~
- Alam nasut, berarti alam jasad atau jasmani
(=wajar).
- Alam malakut, berarti alam jiwa atau rohani.
- Alam jabarut, berarti rasa.
- Aalam lahut, berarti Cahaya/Pamor (=Tuhan
Yang Maha Esa).
~ENAM~
- Wujud, berarti badan.
- Ilmu, berarti rasa.
- Nur, berarti cahaya.
- Suhud, berarti sempurna.
~TUJUH~
- Nur, berarti Cahaya (Tuhan Yang Maha Esa).
- Sir, berarti rasa.
- Roh, berarti jiwa atau nyawa (bhs Jawa).
- Jasad, berarti badan.
~DELAMAPAN~
- Mutmainah, dinamakan pula “Nafsu Putih”, ialah
lambang hidung atau alat pembau lainnya.
- Supiah, dinamakan pula “Nafsu Kuning”, lambang
mata atau alat penglihatan lainnya.
- Amarah, dinamakan pula “Nafsu Merah”, lambang
telinga atau alat pendengar lainnya.
- Lauwamah, dinamakan pula “Nafsu Hitam”, lambang
alat-alat pembentukan kata-kata, suara dsb. = alat-alat untuk berbicara.
~SEMBILAN~
- Napas, berarti jalan udara pernapasan tatkala
berbicara (angin ing lesan).
- Tanapas, berarti jalan udara pernapasan tatkala
mendengarkan sesuatu (angin ing karna).
- Anpas, berarti jalan udara pernapasan tatkala
melihat sesuatu (angin ing netra).
- Nupus, berarti jalan udara pernapasan tatkala
mencium, membau (angin ing grana).
~SEPULUH~
Jisim halus terdiri dari :
- Roh Illapi, berarti hidup keperbauan (gesanging
grana).
- Roh Rahmani, berarti hidup kepenglihatan
(gesanging netra).
- Roh Nurani, hidup kependengaran (gesanging
karna).
- Roh Rohmani, berarti hidup kepembicaraan
(gesanging lesan).
~SEBELAS~
Jisim wadak terdiri dari :
- Roh Rabbani, meliputi faedah hidung atau
membau.
- Roh Nabati, meliputi faedah mata atau melihat.
- Roh Hewani, meliputi telinga atau mendengar.
- Roh Jasmani, meliputi lesan atau perasaan.
~DUA BELAS~
- Sarengat, diliputi pergerakan badan.
- Tarekat, diliputi pergerakan angan-angan atau
hati sanubari.
- Hakekat, meliputi pergerakan jiwa.
- Makripat, diliputi pergerakan rasa atau
perasaan.
~TIGA BELAS~
- Mani, berarti kejantanan rasa luhur yang
sebenarnya (Sejatining rasa = concritisering van het gevoel).
- Wadi, berarti tempat (penimbunan) rasa.
- Madi, berarti hakekat rasa.
- Manikam atau Manikem, berarti pengumpulan rasa
(kempaling raos).
Semuanya terpusat dalam badan
(Janaloka), diperlambangkan dengan “Seganten Kidul” (Samudra Selatan = Samudra
Indonesia, penuh dengan gelombang-gelombang besar dan karenanya tidak pernah
“tentram”, selalu “bergerak”, menggetar, tepat seperti hidup dan kehidupan
manusia. Samudra tersebut dikuasai oleh Nyai Roro atau Ratu Kidul)
~EMPAT BELAS~
- Sidik, berarti benar.
- Amanat, berarti kepercayaan.
- Tabligh, berarti mendatangkan.
- Patonah, berarti bijaksana.
~LIMA BELAS~
- Dzikir Satariyah atau Dzikir Sarengat, berarti
dzikir badaniah, dengan diiringi ucapan-ucapan tertentu. Dalam alam nasut.
Pada lahiriahnya tidak sulit.
- Dzikir Isbandiyah atau dzikir Tarekat, berarti
dzikir dalam batin, dalam alam malakut. Pada lahiriahnya tidak terasa.
- Dzikir Bardiyah atau Dzikir Hakekat, dalam alam
jabarut. Pada umumnya perbuatannya tidak disadari.
- Azikir Jalalah atau Dzikir Makripat, dalam alam
lahut. Pada lahiriah tidak terasa apa-apa.
~ENAM BELAS~
- Sembahyang Jema’at, berarti sembahyang sarengat
(jasmaniah).
- Sembahyang Kusta atau sembahyang tanpa lisan,
atau dalam keadaan “Heneng”.
- Sembahyang Kaji atau sembahyang yang dipusatkat
pada telinga, atau dalam keadaan “Hening” (murni).
- Sembahyang Ismungali atau sembahyang yang
dipusatkan pada mata, atau dalam keadaan “Hawas” (waspada).
- Sembahyang Daim atau sembahyang yang berpusat
pada hidung atau dalam keadaan “Heling” (=selalu ingat…… kepada Tuhan Yang
Maha Esa).
~TUJUH BELAS~
- Johar, berarti sesotya.
- Adam, berarti tidak (ora atau dihin).
- Adjebuldanbi, menuruti kehendak rasa sendiri.
- Insan Kamil, berarti kesempurnaan manusia.
~DELAPAN BELAS~
- Dalil memuat firman Allah, ditujukan kepada
Nabi Muhammad s.a.w.
- Kadis (hadith) memuat sabda Nabi Muhammad
s.a.w, ditujukan kepada para “Sahabatnya” (disciplen).
- Ijemak memuat wejangan yang ditujukan kepada
para “Sahabat” tadi.
- Kiyas memuat ajaran para wali yang ditujukan
kepada para mukmin.
~SEMBILAN BELAS~
- Lapal, diucapkan dengan perkataan bahasa Ara.
- Makna, berarti “arti” diucapkan dalam bahasa
Daerah (Jawa, Sunda, Madura, Madura, Batak, Aceh dan lain-lai).
- Murad, berarti “wredi” diucapkan dalam bahasa
Daerah atau lain terjemahan.
- dMaksud (surasa), diucapkan dalam bahasa daerah
atau lain terjemahan.
~DUA PULUH~
- Ekram (bhs Jawa = eling), berarti selalu ingat.
Dalam artikata selalu memusatkan pikirannya kepeda Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam hal ini selalu mentaati segala perintahnya.
- Mikrat, berarti mengagungkan Tuhan Yang Maha
Esa.
- Munajat, berarti ucapannya hanya meliputi dan
diliputi rasa Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Ngubadul atau Molah, berarti menghapus segala
tindakan yang bersifat keduniawia. Segala tindakannya, perbuatannya
bersifat Ketuhanan, dan ditujukan semata-mata kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Masalah tersebut diatas kiranya
dapat disederhanakan melalui tafsiran sebagai berikut.
1. Kita
harus mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa yang tunggal, atau mengakui adanya
hanya satu “Hidup yang menghidupkan segala makluk hidup.
“Benih” atau permulaannya bersifat
rahasia dan diberi nama Sesotya yang terhormat atau “Permata yang
bersinar-sinar” (Nukat Gaib, Nur Muhammad, Karatoning Kabatinan), sedangkan
bahasanya disebut KUN (bhs Arab) atau Firman Tuhan. Firman Tuhan itu mengandung
“Perintah Tuhan Yang Maha Esa” dalam bentuk bahasa yang dapat dimengerti umat
manusia yang bersangkutan, masing-masing bangsa dalam bahasanya
sendiri-sendiri. Alhasil terhadap bangsa Arab misalnya dalam bahasa Arab, bang
Yunani dalam bahasa Yunani demikian seterusnya, dengan terjemahannya kedalam
bahasa yang lain.
Firman Allah yang asli berbentuk
Ilham, bersifat gaib. Ilham itu hanya dapat tertangkap para Nabi, avatar dsb (pada
umumnya).
2.
Inti-pati (essence) Tuhan Yang Maha Esa dinamakan DZAT. Dzat itu mempunyai
sifat (bhs Jawa sipat) atau “warna” atau “cahaya” (=Cahaya Tuhan Yang Maha
Esa), juliukan (asma), sedangkan “budi-pekertinya” disebut Angpal atau Af’al (berarti
menurut garis-garis fa’ali), yang selalu bersifat baik, bijaksana dan budiman.
3. Dalam
keadaan kongkrit Dzat tersebut dinamakan Dzat Mutelak atau Jazad (organisme).
Dalam tiap jasad terkandung secara integral Dzat subekti (jiwa atau roh). Dzat
salikin (perasaan) dan Nukat Gaib.
4. Dalam
keadaan tersebut terkandung pula segala keluhuran, keagungan makhluk hidup
(Kahar), keelokan yang tiada bandingnya (Jalal), kekuasaan tertinggi atas
segala keadaan dan peristiwa (Jamal atau Wisesa), bersifat serba sempurna
(Kamal.
5. Tiap
jasad berada dalam alam yang wajar, materiil atau “Alam jasmani” (Alam Nasut),
diliputi oleh jiwa atau “Alam rohani” (Alam Malakut), perasaan (Alam Jabarut)
dan “Alam Cahaya Tuhan (Alam Lahut).
6. Tiap
jasad mempunyai badan (Wujud), yaitu bentuk yang wajar atau mujarad, rasa atau
perasaan, ataupun “arti” (Ilmu), cahaya atau sesuatu yang memancar (Nur), yang
serba sempurna (Suhud).
7.
Sebaliknya tiada cahaya tanpa rasa atau perasaan, ataupun arti jiwa dan jasad.
8. Tiap
jasad memiliki 4 nafsu : Nafsu Mutmainah, Supiah, Amarah dan Lauwamah.
9. Sesuai
dengan kedudukannya sebagai “Tetalining urip” (segala sesuatu yang melekat pada
masalah hidup), berdasarkan kegiatan alat-alat pancaindera kita.
Jalannya pernapasan mempunyai 4
macam bentuk :
a. Tatkala
mendengarkan (angining karna), dinamakan Tanapas.
b. Tatkala
melihat (angining netra), dinamakan Anpas.
c.
Tatkala membau (angining grana), dinamakan Nupus.
d. Tatkala
berbicara (angining lesan), dinamakan Napas.
10.
Adapun “hidupnya” (berfungsinya) alat :
a. Pembau
(gesanging grana) dijiwai oleh Roh Ilapi.
b.
Penglihat (gesanging netra) diliputi oleh Roh Rahmani.
c.
Pendengaran (gesanging karna) dijiwai oleh Roh Nurani.
d. Lisan
atau daya berbicara (gesanging lesan) dijiwai oleh Roh Rohmani.
Roh-roh tersebut (sub a s/d d)
tergolong pada yang dinamakan “Jisim” atau “Badan Halus”.
11.
Mengenal kefaedahannya, maka :
a. Membau
(berfungsinya alat-alat pembau) dijiwai Oleh Roh Rabbani .
b. Melihat
(berfungsinya alat-alat penglihatan), jiwai oleh Roh Nabati.
c.
Mendengar (berfungsinya alat-alat pendengar) dijiwai oleh Roh Hewani.
d.
Berbicara (berfungsinya alat-alat bicara), dijiwai oleh Roh Jasmani.
Roh-roh tersebut (sub a s/d d)
tergolong pada yang dinamakan “Badan Wadaq”.
12.
Untuk mencapai faedah tersebut diatas (dapat berfungsi sebagaimana mestinya)
dibutuhkan gerakan atau kegiatan:
a.
Jasmaniah (Saerengat).
b.
Rohaniah (kebatinan melalui angan-angan atau perasaan, ataupun hati sanubari
(Tarekat).
c.
Falsafah (Hakekat).
d. Melalui
jalan tasawuf atau mistik (Makripat).
13.
Hal-hal tersebut diliputi oleh “rasa kenyataan” (Mani atau cocretisering),
membutuhkan “tempat rasa” (Wadi), menimbulkan “Hakekat Rasa” (Madi) dan
akhirnya “Pusat Pengumpulan Rasa” (Manikem atau “Kumpulaning Rasa”, Jayengdriya
atau Bait Al-Mukadas).
14.
Hal-hal tersebut harus dilakukan secara tepat atau benar dengan seksama
(sidik), dengan penuh kepercayaan (amanat) serta sempurna. Tegasnya janganlah
setengah-setengah hendaknya. Jika dirasakan belum sempurna, wajid diusahakan
(didatangkan = tabligh) sedemikian, hingga semurna penuh, secara bijaksana
(patonah) antara lain dengan :
15.
I. a. Dzikir Sataryah atau Dzikir sareat, yang berarti badaniah, diiringi
ucapan-ucapan tertentu. Berlangsung dalam alam nasut. Dalam artikata secara
lahiriah dapat disaksikan fihak ketiga pula. Perbuatan itu pada galibnya tidak
sulit adanya.
b. Dzikir Isbandiah atau Dzikir tarekat,
yang berlangsung dalam batin atau Alam Malakut. Pada lahiriahnya tidak terasa.
c. Dzikir Bardiyah atau Dzikir
Hakekat, yang berarti melaksanakan jiwa dzikir saja. Berlangsung dalam Alam
Jabarut. Terlaksananya pada galibnya tidak disadari oleh yang melaksanakannya.
d. Dzikir Jalalah atau Dzikir
Makrifat. Pada peristiwa ini pada galibnya tiada apa-apa. Berlangsung pada Alam
Lahut.
Dalam pada itu “dzikir” berarti
pujaan atau pujian terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan berulang-ulang
mengucapkan kata-kata dalam bentuk lagu (berirama) sifat-sifat Tuhan Yang Maha
Esa.
16.
II. a. Sembahyang pada hari Jum’at atau “sembahyang sarengat” ataupun
“sembahyang jasmaniah”.
b. Sembahyang Kusta atau
sembahyang tanpa lisan atau sambil berdiam diri dan tidak berbicara sama
sekali. Manusia yang bersangkutan ada dalam keadaan “Heneng”.
c. Sembahyang Kaji, dipusatkan
ditelinga (karna dan atau pendengaran. Cara ini menimbulkan kemurnian batin,
atau pikiran. Manusia bersangkutan ada dalamkeadaan “Hening”.
d. Sembahyang Ismungalim,
dipusatkan pada mata (netra) atau penglihatan. Cara ini menimbulkan kewaspadaan
atau keadaan “Hawas”.
e. Sembahyang Daim, dipusatkan
pada hidung atau alat-alat pembau lainnya. Cara ini mampu memperingatkan orang
yang bersangkutan kepada sesuatu hal, ataupun menarik perhatian. Dalam pada itu
orang tersebut ada dalamkeadaan “Heling”.
Dalam suasana ini sembahyang
berarti pernyataan bakti dan perkataan tertentu, dalam suasana “Heneng, Hening,
Heling, Hawas”!!
17.
Perlu ditandaskan lebih jauh, bahwa “Sesotya yang terhormat” atau Nukat gaib”
ataupun “Johar”, itu berarti tiada yang mendahuluhinya (Adam). Pengertian ini
dapat tercapai atas dasar rasa yang kuat (addjebuldanbi) dan rasa
perikemanusiaan yang sempurna (Insan Kamil).
18.
Sebagai pedoman hendaknya selalu dipakai firman Tuhan yang ditujukan kepada
Nabi Muhammad s.a.w. (Dalil). Selanjutnya sabda Nabi Muhammad s.a.w. kepada
para muroidnya yang pertama dan terutama atau “Sahabat Nabi” (Abubakar, Umar,
Usman, Ali) (Kadis, Hadits), wejangan yang ditujukan kepada para “Sahabat Nabi”
tersebut (Ijemak), dan ajaran para “Waliyullah” (auliya atau orang suci
penyebar Agama Iaslam kepada para pendeta atau mukmin (Kiyas).
19.
Hendaknya diperhatikan pula perkataannya dalam bahasa Arab (lapal), arti
kata-kata tersebut dalam bahasa daerah (makna), penjelasaannya (wredi) dan
tujuannya (maksud).
20.
Singkatnya kita harus selalu ingat (eling), dalam artikata memusatkan perhatian
kita kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ikram), mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa
(murad), yang harus dicerminkan pada ucapannya yang selalu diliputi dan
meliputi perihal Ketuhanan (munajat) dan budipekerti yang nyata. Tegasnya
menghapuskan segala tindakan / perbuatan yang bersifat keduniawian, sambil
mengutamakan tindakan / perbuatan yang bersifat kerohanian. Dalam artikata
ditujukan semata-mata kepada, tegasnya menembah, Tuhan Yang Maha Esa (Ngubadil
atau Molah).
Sumber :
Buku “Gagasan Tentang Hakekat
Hidup dan Kehidupan Manusia”, oleh Dr. A. Sena Sastroamidjojo, Penerbit Bhratara,
Jakarta 1971.
Posting Komentar untuk "SUNGSANG BAWANA BALIK"